Kisah ini, tentang aku, kau, dia, kami dan mereka. Bukan
hanya kau peran utamanya. Kami semua adalah peran utama dalam kisah kami
masing-masing. Aku tak bisa membayangkan, jika kisah ini tak kusampaikan. Kisah
yang membawa kami semua menuju tempat yang tak terduga yang menyimpan ceritanya
masing-masing. Ini bukanlah kisah sedih atau bahagia. Kisah ini berakhir dengan
perasaan masing-masing. Bagaimana kalian merasakannya. Tapi yang jelas inilah
kenyataanya. Kisah pilu dalam sendau gurau tawa. Kisah yang sebelumnya tertutup
debu tipis, mulai menyuarakan keberadaannya.
Sabtu, Juni 2008
Pagi ini sangat cerah, matahari bukan saja menyinari tapi
menyelimuti seluruh kota X dengan hangat. Aku, Lynarina Rusdy saat ini umurku
17 tahun. Tahun ini akan menjadi tahun terakhirku di masa SMA ku. Bagiku inilah
tahun terbaik untukku karena aku menemukan banyak teman dengan cerita baru. Ya,
selain ngurusin hal-hal yang berbau universitas.
"Lyninyi," teriak Fray dari ujung sebrang jalan,
"Ayo berangkat!".
"Ayo," kataku setengah berteriak.
----------
Suasana SMA yang sangat khas, bell sekolah berbunyi tanda jika kelas
telah dimulai. Aku dan Fray berjalan melewati deretan guru BK yang menghukum
siswa terlambat, para murid dengan rambut yang berkilauan dan makeup yang
terlihat tebal bagi anak SMA seumuran mereka, menurutku. Kelasku tepat
berhadapan dengan lapangan basket dan lapangan bola yang menjadi satu dan hanya
dibatasi jalan setapak antara kedua lapangan tersebut.
Hari ini tidak secerah hari-hari sebelumnya, langit mulai mengatakan
tidak pada aktivitas hari ini. Aku dan Fray masuk ke kelas XII-IPA. Sesaat aku
masuk, seperti biasanya setiap hari kamis pasti pak Boby gak akan masuk karena
urusannya yang selalu menyarankannya untuk menetap di balik meja dengan
setumpuk buku yang (entah setia atau tidak) menemaninya. Walau begitu pak Boby
tidak pernah kena omelan atau potong gaji. Semua orang juga tahu hal itu,
karena berkat beliaulah sekolah X ini mendapat peringkat 1 dalam setiap
olimpiade dan kejuaraan nasional lainnya. Bagiku pak Boby adalah ilmuwan
bertopeng, gayanya seperti ilmuwan eksentrik yang membuat setiap murid lomba
mengangkat alis secara bersamaan, termasuk aku.
Kuberitahu, aku bukan tipe murid yang begitu dekat dengan guru atau
murid yang menjadi kesayangan seorang guru. Sama sekali bukan, kalau kalian
bertanya-tanya "lalu apa spesialnya kamu?" aku memang bukan
siapa-siapa di cerita mereka tapi aku adalah peran utama di ceritaku ini.
Dan ini adalah
ceritaku. Cerita yang selalu tak kuinginkan tapi selalu hadir bagai mesin
pengetik otomatis, termasuk dia. Dia yang selalu berlari, dia yang selalu
tertawa, dia yang selalu tersenyum menampakan gusinya yang lucu, manis terlihat
manis untuknya. Dia alasanku merasa untuk bangun pagi hari. Dialah alasanku
untuk selalu tersenyum dan itulah dia. Sambil memandang lapangan yang sangat
sejuk hanya senyum itu yang terlihat oleh mataku. Sayangnya itu dulu, dulu
sebelum sekarang dan dulu sesudah waktu itu. Aku memilih mengabaikan tali yang
ia ikatkan padaku. Bahkan mungkin aku yang tidak melihat untaian tali yang coba
ia selipkan.
Aku hanyalah angin yang bisa ia rasakan saat ingin tapi tidak untuk
dilihat. Hanya sebuah pohon yang bisa berdiam dan menerima sapa yang akan
datang menyiram atau datang untuk menebang
“Hah? Hati? Aku? Siapa bilang!?” kataku
menahan emosi.
“Aku, barusan aja aku bilang. Masih gak
percaya? Lyn, aku kasih tau ya, semua itu keliatan banget, walau aku gak tau
lebih lanjut tapi itu udah pasti,” ujar Fray, “mau sampai kapan kamu nahan hati
kamu gini terus Lyn? Sampai kamu dapat “kode” itu lagi atau sampai dia bergerak
maju?” tuturnya tanpa hela napas.
Wait!
Kenapa kisah ini berjalan tanpa perkenalan? Kenalin, aku Lynarina Rusdy, gadis
biasa, tidak usah capek menebak kalau ayahku orang kaya atau pewaris ini-itu
atau aku akan mendapatkan “pangeran” yang baik hati seperti cerita cinderella,
karena nyatanya tidak ada yang terjadi, yang tertinggal hanyalah jejak bayangan
semu. Dan temanku yang mengkicaukan sejuta nyanyian di siang hari bolong seperti
ini adalah Fraye Bowo. Namanya memang agak aneh tapi itulah dia, seaneh namanya
dan sebaik yang terlihat, buruknya? Hmm, sangat banyak. Sama denganku dia juga
bukan anak orang kaya atau apapun yang seperti kalian harapkan atau
imaginasikan.
“Terus? Aku harus apa Fray-chicken?” ujarku.
“okeh, chicken kesayangan-mu ini akan memberitahukan jawabannya.
Jawabannya hanya satu, dan pastinya...,” ujar Fray yang belum sempat
menyelesaikan kata-katanya.
“bilang ke-dia,” gumamku, sambil
melirik Fray.
“lah itu tahu,” ujar Fray, “kalau kamu
mau bilang itu susah, gak gampanglah, atau jangan seenaknya ngomong!
Ngelakuinnya itu susah banget. Berarti kamu gak bener-bener suka atau cuma mau
mengumbar rumor yang gak jelas. Hidup itu harus dalam realita, bukan berdasarkan
rumor.”
“au ah Fray, kamu sok bijak jadi
malesin,” ujarku sambil berjalan lebih cepat.
“malesin apa muakasin (makasih),” ujar
Fray sambil mengejarku.
Yah, Fray memang seperti itu, terlihat
kekanak-kanakan, urakan, kucel, cuek, bahkan egonya sangat tinggi. Tapi jangan
salah, ia berani melihat dunia dengan caranya sendiri, tanpa memperdulikan
ucapan orang lain, bukannya dia tidak memikirkannya hanya saja, ia mengabaikan
semua itu. Itulah sebabnya aku senang berteman dengannya, walau banyak yang mengatakan
dia “Fray-freak.”
“bye Lyninyi-ku!” ujar Fray setengah berteriak sambil melambaikan
tangannya.
“hm, bye Fray-chicken,” balasku.
Enam bulan kemudian
Sejak hari itu, semua berubah. Maksudku
bukan berubah kalau aku menjadi istimewa atau apapun yang seperti kalian
pikirkan, karena nyatanya yang berubah hanyalah aku. Apa aku terlalu gampangan?
Sebut saja begitu karena apa yang dilakukannya sangat mengganggu ku, benar aku
mengatakan itu tidak penting tapi sayangnya itu tidak bekerja. Selam setahun
ini aku menjalani hari-hari dengan sangat tenang, yah, itu yang kuperlihatkan
dan itu yang kuizinkan untuk dilihat. Sampai akhirnya aku memberanikan diri
untuk bercerita pada Fray.
“kamu ngapain sama dia?!” ucap Fray terkejut, “ceritain
semuanya, dari awal!”
Flashback (Sabtu, Juni 2008)
Hari
ini pelajaran biologi, hari ini akan dibentuk kelompok, dan hari ini adalah
hari dimana aku akan tetap memilih untuk diam.
“baiklah,
sekarang coba setiap kelompok melakukan praktek tersebut bersama-sama dan
secara bergantian ya,” ujar guru biologi ku.
“eh,
Fray, aku ke toilet dulu ya,” ujarku sambill berlari keluar.
“okeh,
Lyninyi,” balas Fray.
Oke,
untuk menuju toilet aku harus melewati kantin bu Sekar. Tapi untuk sekarang,
aku harus lari, karena yang kubutuhkan hanya TOILET.
“Huft,
untung saja lariku cepat,” ujarku sambil mencuci tangan.
“Lyn,
kamu ngapain disini,” ujarnya. Suara yang kukenal, wajah yang ku kenal dan yap,
itu dia.
“eh,
cuci tangan, emangnya mau masak,” jawabku sedikit ketus.
“oh, gitu,” balasnya
“Lyn....,” ujarnya tiba-tiba
--------------------------------
“terus?!!!!!! What?
Dia bilang sesuatu?” ucap fray semangat.
“BIG NO,” ucapku santai.
Dan
ya, yan terjadi pada Fray adalah berteriak kepadaku dengan tatapan tidak
percaya. Mau aku apakan lagi? Aku mengucapkan yang sejujurnya. Bagiku itu
adalah pengalaman pertamaku yang mengesankanku sampai sekarang tetapi disisi
lain itu adalah mimpi burukku. Aku hanya bisa melihat dan merasakannya dalam
sepihak. Aku hanya akan melewati jembatan pikiran menuju imaginasi dan melewati
lorong kebingungan. Begitulah kisah ini
berakhir seperti itu dan ku wakili dengan satu kata “Bingung”.
-2009-
Sakit, begitu sesak. Hatiku tak karuan.
Hatiku menangis sama seperti hujan turun. Bisakah aku menghentikannya? Hanya
sampai aku benar-benar merasa tenang. Apa hanya hujan yang tidak bisa
dihentikan? Apa kalian tahu apa yang benar-benar tidak bisa dihentikan selain
kuasa-Nya? Angin, hembusan angin tidak bisa dihentikan, akan selalu datang dan
akan selalu ada. Menyapu segalanya, kebencian, kepedihan, kebahagian, cinta dan
kenangan menjadi satu, membawa semua rasa bukan menuju tempatnya, melainkan
menyebarkan rasa itu. Apakah rasa itu hambar? Atau rasa manis menyejukan yang
diinginkan kebanyakan orang? Aku tidak bisa menjawabnya karena itu masalah
personal. Tapi yang kuyakini itulah yang kurasakan sekarang.
“huft...
kenapa harus sekarang sih?” gumamku kesal.
“mau
gimana lagi? Gurunya seperti itu. Sudahlah ayok cepetan, nanti malah semakin
meletus gunung apinya,” sambil menarik tanganku.
------------------------
“yes!!
Selesai! Ye...yey...ye...,” teriakku.
Plakk!
Tangan itu mulai memukulku lagi karena terompet-ku
berbunyi di tempat yang salah.
“sakit!!”
teriakku tepat di wajahnya.
“kok
anak kayak kamu berani sekali ya?” ujarnya sambil mendekatkan tangannya lagi di
atas kepalaku.
“terus?”
ucapku dengan sinis.
“jangan
teriak terus Ri, makan yang tenang,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
Aku yang saat itu hanya bisa diam
mendengar kata-katanya. Diam melihatnya pergi, diam mendengar langkah kakinya
hilang, dan diam saat melanjutkan makanku.
Dia yang menarik tanganku, dia yang
memukulku, dia yang menasihatiku, dia adalah dia. Aku tidak pernah menyebut
namanya, bukan karena aku lupa tapi karena aku takut. Lucu ya? Hanya sebut nama
orang saja aku takut. Ya, itu benar aku sangat takut, takut jika kusebutkan,
nama itu hanya akan ada dikepalaku tetapi selanjutkan malah akan dihatiku.
Selanjutnya aku hanya kan melihat namanya dan menginginkan namanya. Tidak,
kisahku ini bukanlah kisah sedih, hanya saja ada unsur sedihnya saja. Dan
dialah unsur kesedihan itu, dialah kesedihan yang masuk dalam kisahku.
Kesedihan yang membuatku sedih. Dan dia kesedihan pertamaku.
Keesokan harinya
“kamu
mau apa?” ujar Elli.
“kerja
sambilan, elli ku sayang,” rayuku, dengan mata yang kucoba seperti kucing tapi
gagal karena mataku yang sipit.
“come
on, Ri. Kamu masih sekolah, mau kerja apa?” ujar Elli sambil melihatku dengan
alisnya yang naik keatas. That is my
favorite part from her.
“hmm....
yups. You will agree if you know it,” ujarku dengan memperlihatkan senyum dan
mata yang menghilang.
“ok,
gak usah senyum gila kayak gitu,” tutur Elli.
“kenapa?”
ujarku.
“kalau
kamu mau kerja sambilan di cafe, restoran atau toko yang cuma jadi seorang
pelayan dan merasa dirinya cantik atau spesial, no!” jelas Elli
“ahhh,
why?” ujarku dengan harapan yang putus.
“itu
gak cocok buat kamu,” ujar Elli.
“terus
apa dong?” ujarku sedih.
“kerjaan
yang cocok buat kamu itu BELAJAR!
Kejar impianmu, bukannya mikir yang aneh-aneh,” kata Elli dengan sangat
menekankan bagian kata “belajar”.
Yup, dan
akhirnya rencana mau kerja gagal karena ketidaksukaan Elli. Bagiku Elli hanya
seorang teman, bukan sahabat. Setidaknya aku yang menganggap seperti itu bukan
Elli. Aku sering sekali memikirkan bahwa Elli itu sangat jahat, buruk dan iri
hati bahkan sombong. Kemudian kuputuskan untuk membencinya. Dan untuk kesekian
kalinya itu hanya dalam pandangan ku saja. Nyatanya dia berkebalikan dari semua
yang kuinginkan.
Saat kami berdua berjalan sepanjang
koridor sekolah yang tampak sangat sunyi dan tenang. Ok, satu lagi, itulah yang
kuinginkan, nyatanya? Taulah.
“Eh, ada gosip baru lohh!” murid satu berkata,
“kalian tau gak?”
“enggaklah!”
murid lain berkata bersamaan sambil menunjukan raut wajah yang kesal.
“hahaha,
oke oke...., dia pindah sekolah!” murid satu berkata.
“
oh my god?! Kok bisa?” tanya murid lain.
“rahasia,
gak ada yang tau...,” ujar murid itu.
Aku melihat mereka, berkumpul diantara
tiang penyangga sekolah. Beberapa dari mereka duduk dan yang membawa berita
kehebohan berdiri, sambil bercerita dengan hebohnya seakan itu adalah berita
perang dunia ke III. Aku dan Elli melewatinya begitu saja, tapi aku melihat
mereka melalui jendela yang berhadapan dengan mereka. Samarku lihat tapi aku
mendengar semuannya. Aku tidak tahu apa yang salah dariku tapi mendengar berita
yang berhembusan di sekitar ku, mengharuskan aku merasakan hembusan itu. Dan
yang kurasakan sekarang adalah dingin.
Sabtu, Juni 2009
“Makasih
untuk semuanya,” ucapku lirih, “maaf juga ya.”
“gak
apa-apa Riri, semuanya baik-baik saja kok. Makasih juga udah mau bantu aku
selama ini,” jelasnya sambil memegang tanganku dengan lembut dan pelan.
Semua nampak jelas bagiku, hanya
bagiku. Tapi apakah itu benar-benar jelas? Atau kejelasan yang berembun? Aku tidak
tahu harus bagaimana, yang aku lakukan hanyalah melanjutkan apa yang harus aku
lanjutkan, aku terus berjalan. Aku tidak ingin berhenti, aku tidak mau
berhenti. Masih terlalu banyak yang harus kukejar jika aku berhenti disini.
Sebelum aku menyesalinya, aku memutuskan untuk mengatakannya. Mengucapkan
beberapa kata tidak akan membuatku berhenti, hanya saja aku ingin membuat angin
ini berhenti walau untuk sesaat.
“sampai jumpa lagi Dani,” ucapku dengan
senyuman, “sampai jumpa lagi, disaat yang berbeda.”
“Dani?”
tanyanya heran, “lucu, dari semua hadiah yang aku dapat, kata “Dani” darimu
hadiah paling indah tahun ini. Makasih ya Ri,” Dani berkata sambil mengelus
punggung tanganku. Bibirnya menampakan senyum miris yang membuatku bingung tapi
matanya menampakan senyum yang benar-benar tulus.
“sama-sama.
Good bye,” sambil melambaikan tanganku
Dan pada bagian ini bisa kugambarkan
dengan satu kata yaitu “kehilangan”. Aku mengatakan dia bagian tersedihku tapi
aku tidak menggunakan kata sedih untuk menggambarkannya karena yang kurasakan
adalah kehilangan. Dan bagiku kehilangan adalah bagian dari kesedihan.
Permulaan
-Agustus 2017-
Dimulai
dari gerutu seorang remaja laki-laki di hari pertamanya masuk ke sekolah baru.
“sialan,
bagus banget dah gua udah naik angkot malah angkotnya mogok segala,” gerutu
seorang remaja laki-laki. Ia diturunkan diperempatan jalan oleh supir angkot yang mogok kerja
karena demo besar-besaran. Murid itu menoleh kiri dan kanannya berharap ada angkot
yang mengarah menuju sekolah barunya. “Yaelah kenapa juga gua nolak dianterin
tadi, hah sial banget dah gua hari ini,” keluhnya. Dia adalah Angga Prasatyo,
murid nakal yang susah untuk dikendalikan. Ia telah empat kali pindah sekolah
dan semua sekolah menyerah dengan perilakunya yang malah memperburuk image sekolahannya dulu. Sma X negeri
dengan senang hati menerimanya karena dana yang dikeluarkan oleh nenek Angga.
-depan gerbang Sma X Negeri-
Entah
gimana caranya Angga berhasil sampai di sekolah barunya walau terlambat.
“makasih
ya bang!” sahutnya setengah berteriak sambil melambakan tanganya.
“kamu!!
Kelas berapa kamu? Jam segini baru datang? Memangnya dimana rumahmu? Gak punya
jam dirumah?” cercah pak Ahmad, guru BK Sma X negeri yang terkenal—jelas karena kumis yang melengkung begitu indah—muka
garangnya.
“aduh pak yang bener saya gak punya
headset buat nutupin telinga saya ini dari omelan bapak,” jelas Angga sambil
menunjuk kedua telingannya.
“apa? Berani sekali kamu? Kelas berapa
kamu? Siapa wali kelasmu?” tanya pak Ahmad.
“beranilah, saya diajarkan buat jadi
orang yang berani,” ujar Angga, “saya gak tau kelas saya dan juga, nama wali
kelas saya aja gak inget.”
“kurang ajar, berani sekali kamu jawab
pertanyaan saya!” sahut pak Ahmad
“lah terus saya harus apa? Bapak kasih
saya pertanyaan ya saya jawab, kan jawaban ada karna ada pertanyaan,” timpa
Angga yang membuat pak Ahmad semakin geram akan tingkahnya.
Semua mata tertuju pada mereka berdua.
Semakin lama semakin memanas. Bahkan guru lain tidak dapat menghentikan adu
mulut itu dengan cepat. Sampai akhirnya pak Bobby datang dan menarik kerah
belakang Angga, terlihat pelan tapi itu tarikan yang cukup keras.
“Cukup pak, biar saya yang membawanya
langsung ke ruang kepala sekolah,” kata pak Bobby dengan penuh hormat pada pak
Ahmad.
“huh, didikan orang barat tidak cocok
disini,” terang pak Ahmad sambil memandang Angga dan pergi meninggalkan
kerumunan.
“kalian liat apa? Cepat kembali ke
barisan!” sentak pak Ahmad, yang kembali mengurus murid-murid yang terlambat.
Pak Bobby segera membawa Angga menuju
ruang kepala sekolah. Saat di depan pintu kepala sekolah pak Bobby yang
semulanya serius seketika tersenyum saat bertatap muka dengan Angga.
“tenang gak akan seserius yang kamu
bayangkan kok, nyantai saja ya Amuba,” kata pak Bobby. Pak bobby ingin menyebut
namanya tapi karena belum berkenalan pak Bobby malah memanggilnya amuba.
“saya juga tahu kalau gak akan seserius
itu, tapi nama saya Angga bukan Amuba. Bapak kira saya organisme kecil?” tutur
Angga kesal melihat tingkah laku guru di hadapannya itu.
Pak Bobby menjawab dengan
seadanya—bahkan lebih pantas dikatakan polos. “Ah MUrid BAru, soalnya muka mu
masih kinclong,” sambil menggerak tangannya di depan wajah Angga.
“Ah Murid Baru?” dengan polosnya Angga
juga mengikuti gerakan tangan pak Bobby. Setelah mengikuti gerak tersebut,
Angga memandang guru laki-laki dihadapannya dengan aneh.
“dasar guru aneh gak jelas banget dah,”
gumam Angga, “ ini jadinya saya masuk apa tungggu diluar pak?” tanya Angga
kemudian.
“masuk sana,
ngapain juga kamu diluar? Masa bapak Kepala Sekolah kamu suruh keluar,” jelas
pak Bobby dengan santainya.
-kelas XII IPA 6-
Suasana
begitu ribut dan tidak kondusif untuk belajar, karena memang saat-saat kelas 3
SMA adalah saat terakhir bersama yang terbaik jadi tidak boleh disia-siakan. Di
kelas XII IPA 6 tepatnya, sebagian anak menghabiskan waktunya untuk tidur
diatas kursi atau hanya sekadar membaringkan kepalanya di atas meja, bahkan
tidak sedikit murid perempuan yang tidur dilantai. Sama halnya dengan murid
laki-laki yang tidur di lantai dengan beralaskan tas sebagai bantal.
Sebagiannya lagi bermain game di laptop, beberapa murid perempuan yang
berkumpul di deretan paling pojok yang sedang bergosip dengan riaangnya sambil
menyantap cemilan, ada juga yang bermain bulu tangkis didepan kelas dengan buku
sebagai raketnya. Mereka melompat, berlari, menari, menyanyi, bahkan menarik
deretan pot kelas sebelah karena kekurangan pot di depan kelas mereka. Hal yang
biasa bagi anak SMA itu adalah bagian terbaik di kehidupan SMA yang penuh akan
tuntutan belajar. Teman bagaikan sebuah obat, pahit, susah untuk ditelan karena banyak bentuknya tetapi
perlahan tapi pasti menyembuhkan dan membuatmu tersenyum.
Murid
laki-laki sedang bersendau gurau tentang mantan masing-masing, mereka
membicarakan kalau mereka masih merindukan mereka dan sebagian dari mereka
menggoda murid perempuan lainnya. Belum sempat mereka menyelesaikan godaan
tersebut seorang guru BK masuk dan membawa seorang murid baru, siapa lagi kalau
bukan Angga. Angga berjalan masuk dalam kelas dengan gayanya yang nyentrik
dengan raut wajah yang garang dan tatapan mata yang tajam. Semua murid
memperhatikannya, sebagian murid perempuan terpanah dengan gaya Angga yang
terbilang cukup keren ditambah dengan paras tampan Angga yang benar-benar
bagaikan udara segar dikelas itu. Berbanding terbalik dengan murid laki-laki,
yang malah mengatakan jika angga hanya sok pamer dan sombong. Setelah berada
tepat di depan kelas, Pak guru mempersilahkan Angga untuk memperkenalkan diri.
“Hai,”
ucap Angga sambil melambaikan tangannya dengan lembut bahkan senyum terukir
manis di wajahnya yang semakin menambah kesegaran dimata murid perempuan dan
membuat hampir seluruh murid laki laki mendesah kesal.
“saingan
yang tak diinginkan datang,” ucap seorang murid laki-laki dengan kesal.
“Angga
Prasatyo, namaku. Tapi, panggil aku Angga aja,” kata Angga dengan manisnya.
Berbeda dengan Angga saat berhadapan dengan pak Ahmad. Angga mencoba menciptakan image manis dan kalem
saat karena jika tidak, ia akan dipindahkan lagi oleh neneknya. Setidaknya itu
sebagian kecil yang disampaikan bapak Kepala Sekolah saat Angga diruangannya
tadi.
Flasback
“kamu hari pertama masuk saja sudah
buat banyak masalah, apa kamu mau saya laporkan nenek mu?” ucapan kepala
sekolah membuat Angga diam seketika.
“iya pak, maaf,” jawab Angga
“baru setelah saya ancam baru kamu
mau merasa bersalah,” kata kepala sekolah dengan tegas.
“saya gak merasa bersalah, saya
minta maaf sama nenek saya yang dirumah kok pak,” kata Angga tak mau kalah.
“kamu!” kata kepala sekolah sambil
menunjuk wajah Angga. “sudah,sana balik ke kelas saja. Lagi pula nenek kamu
juga sudah tahu kok.”
“makasih bapak kepala sekolah yang
ramah sudah kasih tau nenek saya, habis ini sekolah bapak gak akan tenang,”
ucap Angga dengan ekspresi senyum nakalnya dan disambut dengan raut wajah
kepala sekolah yang shock dengan tingkah Angga yang diluar akal sehat. To Be Continue--
Komentar
Posting Komentar