Langsung ke konten utama

Cerbung-The Longest Ride oleh:Moppsycat




Kisah ini, tentang aku, kau, dia, kami dan mereka. Bukan hanya kau peran utamanya. Kami semua adalah peran utama dalam kisah kami masing-masing. Aku tak bisa membayangkan, jika kisah ini tak kusampaikan. Kisah yang membawa kami semua menuju tempat yang tak terduga yang menyimpan ceritanya masing-masing. Ini bukanlah kisah sedih atau bahagia. Kisah ini berakhir dengan perasaan masing-masing. Bagaimana kalian merasakannya. Tapi yang jelas inilah kenyataanya. Kisah pilu dalam sendau gurau tawa. Kisah yang sebelumnya tertutup debu tipis, mulai menyuarakan keberadaannya.
Sabtu, Juni 2008
Pagi ini sangat cerah, matahari bukan saja menyinari tapi menyelimuti seluruh kota X dengan hangat. Aku, Lynarina Rusdy saat ini umurku 17 tahun. Tahun ini akan menjadi tahun terakhirku di masa SMA ku. Bagiku inilah tahun terbaik untukku karena aku menemukan banyak teman dengan cerita baru. Ya, selain ngurusin hal-hal yang berbau universitas.
"Lyninyi," teriak Fray dari ujung sebrang jalan, "Ayo berangkat!".
"Ayo," kataku setengah berteriak.
----------
Suasana SMA yang sangat khas, bell sekolah berbunyi tanda jika kelas telah dimulai. Aku dan Fray berjalan melewati deretan guru BK yang menghukum siswa terlambat, para murid dengan rambut yang berkilauan dan makeup yang terlihat tebal bagi anak SMA seumuran mereka, menurutku. Kelasku tepat berhadapan dengan lapangan basket dan lapangan bola yang menjadi satu dan hanya dibatasi jalan setapak antara kedua lapangan tersebut.
Hari ini tidak secerah hari-hari sebelumnya, langit mulai mengatakan tidak pada aktivitas hari ini. Aku dan Fray masuk ke kelas XII-IPA. Sesaat aku masuk, seperti biasanya setiap hari kamis pasti pak Boby gak akan masuk karena urusannya yang selalu menyarankannya untuk menetap di balik meja dengan setumpuk buku yang (entah setia atau tidak) menemaninya. Walau begitu pak Boby tidak pernah kena omelan atau potong gaji. Semua orang juga tahu hal itu, karena berkat beliaulah sekolah X ini mendapat peringkat 1 dalam setiap olimpiade dan kejuaraan nasional lainnya. Bagiku pak Boby adalah ilmuwan bertopeng, gayanya seperti ilmuwan eksentrik yang membuat setiap murid lomba mengangkat alis secara bersamaan, termasuk aku. 
Kuberitahu, aku bukan tipe murid yang begitu dekat dengan guru atau murid yang menjadi kesayangan seorang guru. Sama sekali bukan, kalau kalian bertanya-tanya "lalu apa spesialnya kamu?" aku memang bukan siapa-siapa di cerita mereka tapi aku adalah peran utama di ceritaku ini.
Dan ini adalah ceritaku. Cerita yang selalu tak kuinginkan tapi selalu hadir bagai mesin pengetik otomatis, termasuk dia. Dia yang selalu berlari, dia yang selalu tertawa, dia yang selalu tersenyum menampakan gusinya yang lucu, manis terlihat manis untuknya. Dia alasanku merasa untuk bangun pagi hari. Dialah alasanku untuk selalu tersenyum dan itulah dia. Sambil memandang lapangan yang sangat sejuk hanya senyum itu yang terlihat oleh mataku. Sayangnya itu dulu, dulu sebelum sekarang dan dulu sesudah waktu itu. Aku memilih mengabaikan tali yang ia ikatkan padaku. Bahkan mungkin aku yang tidak melihat untaian tali yang coba ia selipkan.
Aku hanyalah angin yang bisa ia rasakan saat ingin tapi tidak untuk dilihat. Hanya sebuah pohon yang bisa berdiam dan menerima sapa yang akan datang menyiram atau datang untuk menebang
“Hah? Hati? Aku? Siapa bilang!?” kataku menahan emosi.
“Aku, barusan aja aku bilang. Masih gak percaya? Lyn, aku kasih tau ya, semua itu keliatan banget, walau aku gak tau lebih lanjut tapi itu udah pasti,” ujar Fray, “mau sampai kapan kamu nahan hati kamu gini terus Lyn? Sampai kamu dapat “kode” itu lagi atau sampai dia bergerak maju?” tuturnya tanpa hela napas.
Wait! Kenapa kisah ini berjalan tanpa perkenalan? Kenalin, aku Lynarina Rusdy, gadis biasa, tidak usah capek menebak kalau ayahku orang kaya atau pewaris ini-itu atau aku akan mendapatkan “pangeran” yang baik hati seperti cerita cinderella, karena nyatanya tidak ada yang terjadi, yang tertinggal hanyalah jejak bayangan semu. Dan temanku yang mengkicaukan sejuta nyanyian di siang hari bolong seperti ini adalah Fraye Bowo. Namanya memang agak aneh tapi itulah dia, seaneh namanya dan sebaik yang terlihat, buruknya? Hmm, sangat banyak. Sama denganku dia juga bukan anak orang kaya atau apapun yang seperti kalian harapkan atau imaginasikan.
“Terus? Aku harus apa Fray-chicken?” ujarku.
“okeh, chicken kesayangan-mu ini akan memberitahukan jawabannya. Jawabannya hanya satu, dan pastinya...,” ujar Fray yang belum sempat menyelesaikan kata-katanya.
“bilang ke-dia,” gumamku, sambil melirik Fray.
“lah itu tahu,” ujar Fray, “kalau kamu mau bilang itu susah, gak gampanglah, atau jangan seenaknya ngomong! Ngelakuinnya itu susah banget. Berarti kamu gak bener-bener suka atau cuma mau mengumbar rumor yang gak jelas. Hidup itu harus dalam realita, bukan berdasarkan rumor.”
“au ah Fray, kamu sok bijak jadi malesin,” ujarku sambil berjalan lebih cepat.
“malesin apa muakasin (makasih),” ujar Fray sambil mengejarku.
Yah, Fray memang seperti itu, terlihat kekanak-kanakan, urakan, kucel, cuek, bahkan egonya sangat tinggi. Tapi jangan salah, ia berani melihat dunia dengan caranya sendiri, tanpa memperdulikan ucapan orang lain, bukannya dia tidak memikirkannya hanya saja, ia mengabaikan semua itu. Itulah sebabnya aku senang berteman dengannya, walau banyak yang mengatakan dia “Fray-freak.”
“bye Lyninyi-ku!” ujar Fray setengah berteriak sambil melambaikan tangannya.
“hm, bye Fray-chicken,” balasku.
Enam bulan kemudian
Sejak hari itu, semua berubah. Maksudku bukan berubah kalau aku menjadi istimewa atau apapun yang seperti kalian pikirkan, karena nyatanya yang berubah hanyalah aku. Apa aku terlalu gampangan? Sebut saja begitu karena apa yang dilakukannya sangat mengganggu ku, benar aku mengatakan itu tidak penting tapi sayangnya itu tidak bekerja. Selam setahun ini aku menjalani hari-hari dengan sangat tenang, yah, itu yang kuperlihatkan dan itu yang kuizinkan untuk dilihat. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk bercerita pada Fray.
“kamu ngapain sama dia?!” ucap Fray terkejut, “ceritain semuanya, dari awal!”
Flashback (Sabtu, Juni 2008)
Hari ini pelajaran biologi, hari ini akan dibentuk kelompok, dan hari ini adalah hari dimana aku akan tetap memilih untuk diam.
“baiklah, sekarang coba setiap kelompok melakukan praktek tersebut bersama-sama dan secara bergantian ya,” ujar guru biologi ku.
“eh, Fray, aku ke toilet dulu ya,” ujarku sambill berlari keluar.
“okeh, Lyninyi,” balas Fray.
Oke, untuk menuju toilet aku harus melewati kantin bu Sekar. Tapi untuk sekarang, aku harus lari, karena yang kubutuhkan hanya TOILET.
“Huft, untung saja lariku cepat,” ujarku sambil mencuci tangan.
“Lyn, kamu ngapain disini,” ujarnya. Suara yang kukenal, wajah yang ku kenal dan yap, itu dia.
“eh, cuci tangan, emangnya mau masak,” jawabku sedikit ketus.
“oh, gitu,” balasnya
“Lyn....,” ujarnya tiba-tiba                     
--------------------------------
 â€śterus?!!!!!! What? Dia bilang sesuatu?” ucap fray semangat.
“BIG NO,” ucapku santai.
Dan ya, yan terjadi pada Fray adalah berteriak kepadaku dengan tatapan tidak percaya. Mau aku apakan lagi? Aku mengucapkan yang sejujurnya. Bagiku itu adalah pengalaman pertamaku yang mengesankanku sampai sekarang tetapi disisi lain itu adalah mimpi burukku. Aku hanya bisa melihat dan merasakannya dalam sepihak. Aku hanya akan melewati jembatan pikiran menuju imaginasi dan melewati lorong kebingungan. Begitulah  kisah ini berakhir seperti itu dan ku wakili dengan satu kata “Bingung”.

-2009-
Sakit, begitu sesak. Hatiku tak karuan. Hatiku menangis sama seperti hujan turun. Bisakah aku menghentikannya? Hanya sampai aku benar-benar merasa tenang. Apa hanya hujan yang tidak bisa dihentikan? Apa kalian tahu apa yang benar-benar tidak bisa dihentikan selain kuasa-Nya? Angin, hembusan angin tidak bisa dihentikan, akan selalu datang dan akan selalu ada. Menyapu segalanya, kebencian, kepedihan, kebahagian, cinta dan kenangan menjadi satu, membawa semua rasa bukan menuju tempatnya, melainkan menyebarkan rasa itu. Apakah rasa itu hambar? Atau rasa manis menyejukan yang diinginkan kebanyakan orang? Aku tidak bisa menjawabnya karena itu masalah personal. Tapi yang kuyakini itulah yang kurasakan sekarang.
“huft... kenapa harus sekarang sih?” gumamku kesal.
“mau gimana lagi? Gurunya seperti itu. Sudahlah ayok cepetan, nanti malah semakin meletus gunung apinya,” sambil menarik tanganku.
------------------------
“yes!! Selesai! Ye...yey...ye...,” teriakku.
Plakk! Tangan itu mulai memukulku lagi karena terompet-ku berbunyi di tempat yang salah.
“sakit!!” teriakku  tepat di wajahnya.
“kok anak kayak kamu berani sekali ya?” ujarnya sambil mendekatkan tangannya lagi di atas kepalaku.
“terus?” ucapku dengan sinis.
“jangan teriak terus Ri, makan yang tenang,” ujarnya sambil mengusap kepalaku.
Aku yang saat itu hanya bisa diam mendengar kata-katanya. Diam melihatnya pergi, diam mendengar langkah kakinya hilang, dan diam saat melanjutkan makanku.
Dia yang menarik tanganku, dia yang memukulku, dia yang menasihatiku, dia adalah dia. Aku tidak pernah menyebut namanya, bukan karena aku lupa tapi karena aku takut. Lucu ya? Hanya sebut nama orang saja aku takut. Ya, itu benar aku sangat takut, takut jika kusebutkan, nama itu hanya akan ada dikepalaku tetapi selanjutkan malah akan dihatiku. Selanjutnya aku hanya kan melihat namanya dan menginginkan namanya. Tidak, kisahku ini bukanlah kisah sedih, hanya saja ada unsur sedihnya saja. Dan dialah unsur kesedihan itu, dialah kesedihan yang masuk dalam kisahku. Kesedihan yang membuatku sedih. Dan dia kesedihan pertamaku.
Keesokan harinya
“kamu mau apa?” ujar Elli.
“kerja sambilan, elli ku sayang,” rayuku, dengan mata yang kucoba seperti kucing tapi gagal karena mataku yang sipit.
“come on, Ri. Kamu masih sekolah, mau kerja apa?” ujar Elli sambil melihatku dengan alisnya yang naik keatas. That is my favorite part from her.
“hmm.... yups. You will agree if you know it,” ujarku dengan memperlihatkan senyum dan mata yang menghilang.
“ok, gak usah senyum gila kayak gitu,” tutur Elli.
“kenapa?” ujarku.
“kalau kamu mau kerja sambilan di cafe, restoran atau toko yang cuma jadi seorang pelayan dan merasa dirinya cantik atau spesial, no!” jelas Elli
“ahhh, why?” ujarku dengan harapan yang putus.
“itu gak cocok buat kamu,” ujar Elli.
“terus apa dong?” ujarku sedih.
“kerjaan yang cocok buat kamu itu BELAJAR! Kejar impianmu, bukannya mikir yang aneh-aneh,” kata Elli dengan sangat menekankan bagian kata “belajar”.
 Yup, dan akhirnya rencana mau kerja gagal karena ketidaksukaan Elli. Bagiku Elli hanya seorang teman, bukan sahabat. Setidaknya aku yang menganggap seperti itu bukan Elli. Aku sering sekali memikirkan bahwa Elli itu sangat jahat, buruk dan iri hati bahkan sombong. Kemudian kuputuskan untuk membencinya. Dan untuk kesekian kalinya itu hanya dalam pandangan ku saja. Nyatanya dia berkebalikan dari semua yang kuinginkan.
Saat kami berdua berjalan sepanjang koridor sekolah yang tampak sangat sunyi dan tenang. Ok, satu lagi, itulah yang kuinginkan, nyatanya? Taulah.
 â€śEh, ada gosip baru lohh!” murid satu berkata, “kalian tau gak?”
“enggaklah!” murid lain berkata bersamaan sambil menunjukan raut wajah yang kesal.
“hahaha, oke oke...., dia pindah sekolah!” murid satu berkata.
“ oh my god?! Kok bisa?” tanya murid lain.
“rahasia, gak ada yang tau...,” ujar murid itu.
Aku melihat mereka, berkumpul diantara tiang penyangga sekolah. Beberapa dari mereka duduk dan yang membawa berita kehebohan berdiri, sambil bercerita dengan hebohnya seakan itu adalah berita perang dunia ke III. Aku dan Elli melewatinya begitu saja, tapi aku melihat mereka melalui jendela yang berhadapan dengan mereka. Samarku lihat tapi aku mendengar semuannya. Aku tidak tahu apa yang salah dariku tapi mendengar berita yang berhembusan di sekitar ku, mengharuskan aku merasakan hembusan itu. Dan yang kurasakan sekarang adalah dingin.
Sabtu, Juni 2009
“Makasih untuk semuanya,” ucapku lirih, “maaf juga ya.”
“gak apa-apa Riri, semuanya baik-baik saja kok. Makasih juga udah mau bantu aku selama ini,” jelasnya sambil memegang tanganku dengan lembut dan pelan.
Semua nampak jelas bagiku, hanya bagiku. Tapi apakah itu benar-benar jelas? Atau kejelasan yang berembun? Aku tidak tahu harus bagaimana, yang aku lakukan hanyalah melanjutkan apa yang harus aku lanjutkan, aku terus berjalan. Aku tidak ingin berhenti, aku tidak mau berhenti. Masih terlalu banyak yang harus kukejar jika aku berhenti disini. Sebelum aku menyesalinya, aku memutuskan untuk mengatakannya. Mengucapkan beberapa kata tidak akan membuatku berhenti, hanya saja aku ingin membuat angin ini berhenti walau untuk sesaat.
 â€śsampai jumpa lagi Dani,” ucapku dengan senyuman, “sampai jumpa lagi, disaat yang berbeda.”
“Dani?” tanyanya heran, “lucu, dari semua hadiah yang aku dapat, kata “Dani” darimu hadiah paling indah tahun ini. Makasih ya Ri,” Dani berkata sambil mengelus punggung tanganku. Bibirnya menampakan senyum miris yang membuatku bingung tapi matanya menampakan senyum yang benar-benar tulus.
“sama-sama. Good bye,” sambil melambaikan tanganku
Dan pada bagian ini bisa kugambarkan dengan satu kata yaitu “kehilangan”. Aku mengatakan dia bagian tersedihku tapi aku tidak menggunakan kata sedih untuk menggambarkannya karena yang kurasakan adalah kehilangan. Dan bagiku kehilangan adalah bagian dari kesedihan.


Permulaan
-Agustus 2017-
Dimulai dari gerutu seorang remaja laki-laki di hari pertamanya masuk ke sekolah baru.
“sialan, bagus banget dah gua udah naik angkot malah angkotnya mogok segala,” gerutu seorang remaja laki-laki. Ia diturunkan diperempatan  jalan oleh supir angkot yang mogok kerja karena demo besar-besaran. Murid itu menoleh kiri dan kanannya berharap ada angkot yang mengarah menuju sekolah barunya. “Yaelah kenapa juga gua nolak dianterin tadi, hah sial banget dah gua hari ini,” keluhnya. Dia adalah Angga Prasatyo, murid nakal yang susah untuk dikendalikan. Ia telah empat kali pindah sekolah dan semua sekolah menyerah dengan perilakunya yang malah memperburuk image sekolahannya dulu. Sma X negeri dengan senang hati menerimanya karena dana yang dikeluarkan oleh nenek Angga.
-depan gerbang Sma X Negeri-
Entah gimana caranya Angga berhasil sampai di sekolah barunya walau terlambat.
“makasih ya bang!” sahutnya setengah berteriak sambil melambakan tanganya.
“kamu!! Kelas berapa kamu? Jam segini baru datang? Memangnya dimana rumahmu? Gak punya jam dirumah?” cercah pak Ahmad, guru BK Sma X negeri yang terkenal­—jelas karena kumis yang melengkung begitu indah—muka garangnya.
“aduh pak yang bener saya gak punya headset buat nutupin telinga saya ini dari omelan bapak,” jelas Angga sambil menunjuk kedua telingannya.
“apa? Berani sekali kamu? Kelas berapa kamu? Siapa wali kelasmu?” tanya pak Ahmad.
“beranilah, saya diajarkan buat jadi orang yang berani,” ujar Angga, “saya gak tau kelas saya dan juga, nama wali kelas saya aja gak inget.”
“kurang ajar, berani sekali kamu jawab pertanyaan saya!” sahut pak Ahmad
“lah terus saya harus apa? Bapak kasih saya pertanyaan ya saya jawab, kan jawaban ada karna ada pertanyaan,” timpa Angga yang membuat pak Ahmad semakin geram akan tingkahnya.
Semua mata tertuju pada mereka berdua. Semakin lama semakin memanas. Bahkan guru lain tidak dapat menghentikan adu mulut itu dengan cepat. Sampai akhirnya pak Bobby datang dan menarik kerah belakang Angga, terlihat pelan tapi itu tarikan yang cukup keras.
“Cukup pak, biar saya yang membawanya langsung ke ruang kepala sekolah,” kata pak Bobby dengan penuh hormat pada pak Ahmad.
“huh, didikan orang barat tidak cocok disini,” terang pak Ahmad sambil memandang Angga dan pergi meninggalkan kerumunan.
“kalian liat apa? Cepat kembali ke barisan!” sentak pak Ahmad, yang kembali mengurus murid-murid yang terlambat.
Pak Bobby segera membawa Angga menuju ruang kepala sekolah. Saat di depan pintu kepala sekolah pak Bobby yang semulanya serius seketika tersenyum saat bertatap muka dengan Angga.
“tenang gak akan seserius yang kamu bayangkan kok, nyantai saja ya Amuba,” kata pak Bobby. Pak bobby ingin menyebut namanya tapi karena belum berkenalan pak Bobby malah memanggilnya amuba.
“saya juga tahu kalau gak akan seserius itu, tapi nama saya Angga bukan Amuba. Bapak kira saya organisme kecil?” tutur Angga kesal melihat tingkah laku guru di hadapannya itu.
Pak Bobby menjawab dengan seadanya—bahkan lebih pantas dikatakan polos. “Ah MUrid BAru, soalnya muka mu masih kinclong,” sambil menggerak tangannya di depan wajah Angga.
“Ah Murid Baru?” dengan polosnya Angga juga mengikuti gerakan tangan pak Bobby. Setelah mengikuti gerak tersebut, Angga memandang guru laki-laki dihadapannya dengan aneh.
“dasar guru aneh gak jelas banget dah,” gumam Angga, “ ini jadinya saya masuk apa tungggu diluar pak?” tanya Angga kemudian.
“masuk sana, ngapain juga kamu diluar? Masa bapak Kepala Sekolah kamu suruh keluar,” jelas pak Bobby dengan santainya.
-kelas XII IPA 6-
            Suasana begitu ribut dan tidak kondusif untuk belajar, karena memang saat-saat kelas 3 SMA adalah saat terakhir bersama yang terbaik jadi tidak boleh disia-siakan. Di kelas XII IPA 6 tepatnya, sebagian anak menghabiskan waktunya untuk tidur diatas kursi atau hanya sekadar membaringkan kepalanya di atas meja, bahkan tidak sedikit murid perempuan yang tidur dilantai. Sama halnya dengan murid laki-laki yang tidur di lantai dengan beralaskan tas sebagai bantal. Sebagiannya lagi bermain game di laptop, beberapa murid perempuan yang berkumpul di deretan paling pojok yang sedang bergosip dengan riaangnya sambil menyantap cemilan, ada juga yang bermain bulu tangkis didepan kelas dengan buku sebagai raketnya. Mereka melompat, berlari, menari, menyanyi, bahkan menarik deretan pot kelas sebelah karena kekurangan pot di depan kelas mereka. Hal yang biasa bagi anak SMA itu adalah bagian terbaik di kehidupan SMA yang penuh akan tuntutan belajar. Teman bagaikan sebuah obat, pahit, susah untuk  ditelan karena banyak bentuknya tetapi perlahan tapi pasti menyembuhkan dan membuatmu tersenyum.
            Murid laki-laki sedang bersendau gurau tentang mantan masing-masing, mereka membicarakan kalau mereka masih merindukan mereka dan sebagian dari mereka menggoda murid perempuan lainnya. Belum sempat mereka menyelesaikan godaan tersebut seorang guru BK masuk dan membawa seorang murid baru, siapa lagi kalau bukan Angga. Angga berjalan masuk dalam kelas dengan gayanya yang nyentrik dengan raut wajah yang garang dan tatapan mata yang tajam. Semua murid memperhatikannya, sebagian murid perempuan terpanah dengan gaya Angga yang terbilang cukup keren ditambah dengan paras tampan Angga yang benar-benar bagaikan udara segar dikelas itu. Berbanding terbalik dengan murid laki-laki, yang malah mengatakan jika angga hanya sok pamer dan sombong. Setelah berada tepat di depan kelas, Pak guru mempersilahkan Angga untuk memperkenalkan diri.
            “Hai,” ucap Angga sambil melambaikan tangannya dengan lembut bahkan senyum terukir manis di wajahnya yang semakin menambah kesegaran dimata murid perempuan dan membuat hampir seluruh murid laki laki mendesah kesal.
            “saingan yang tak diinginkan datang,” ucap seorang murid laki-laki dengan kesal.
“Angga Prasatyo, namaku. Tapi, panggil aku Angga aja,” kata Angga dengan manisnya. Berbeda dengan Angga saat berhadapan dengan pak Ahmad. Angga mencoba menciptakan image manis dan kalem saat karena jika tidak, ia akan dipindahkan lagi oleh neneknya. Setidaknya itu sebagian kecil yang disampaikan bapak Kepala Sekolah saat Angga diruangannya tadi.
Flasback
            “kamu hari pertama masuk saja sudah buat banyak masalah, apa kamu mau saya laporkan nenek mu?” ucapan kepala sekolah membuat Angga diam seketika.
            “iya pak, maaf,” jawab Angga
            “baru setelah saya ancam baru kamu mau merasa bersalah,” kata kepala sekolah dengan tegas.
            “saya gak merasa bersalah, saya minta maaf sama nenek saya yang dirumah kok pak,” kata Angga tak mau kalah.
            “kamu!” kata kepala sekolah sambil menunjuk wajah Angga. “sudah,sana balik ke kelas saja. Lagi pula nenek kamu juga sudah tahu kok.”
            “makasih bapak kepala sekolah yang ramah sudah kasih tau nenek saya, habis ini sekolah bapak gak akan tenang,” ucap Angga dengan ekspresi senyum nakalnya dan disambut dengan raut wajah kepala sekolah yang shock dengan tingkah Angga yang diluar akal sehat. To Be Continue--

Komentar

Postingan populer dari blog ini

About Psychoworld

Psycoworld adalah salah satu komunitas  yang ada di Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Psychoworld merupakan sebuah komunitas yang menampung mahasiswa-mahasiswi khususnya yang berada di Fakultas Psikologi yang memiliki minat dalam berbagai macam hal. Tujuan dari Psychoworld ini adalah memberikan wadah dan informasi event-event bagi mahasiswa-mahasiswi Fakultas Psikologi sesuai dengan minat dan bakatnya. Informasi  event-event yang diberikan bukan hanya yang ada di kampus UIN Maliki sendiri namun juga informasi event-event yang ada di luar kampus yang dapat membawa nama baik Fakultas Psikologi. Didalam Komunitas Psychoworld ini ada beberapa kelas dengan spesifikasi yang sesuai dengan minat mahasiswa-mahasiswi Psikologi. Devisi tersebut diantaranya: 1. Devisi Entrepreneur atau disebut juga dengan Psychopreneur kelas ini mewadahi mahasiswa-mahasiswi yang memiliki minat dalam bidang Entrepreneur . Yang berminat dengan dunia jual beli dan ...

Alvina : Saya Ingin Belajar Psikologi dengan Bahasa Arab

Alvina Rosyidah Oleh    :Yuni Hadziqoh pada 14 Mei 2017, 11:11 WIB Editor : Wachidatul Zulfiyah MALANG - Pusat Pengembangan Bahasa Arab (PPBA) UIN Malang tahun ini mengadakan lomba debat berbahasa Arab antar kelas A. Lomba yang dimulai sejak Senin (08/05) dan akan berakhir pada Senin depan (15/05) itu diikuti oleh 22 grup perwakilan dari masing-masing kelas, yaitu kelas A1 sampai A6 putri dan A1 sampai A5 putra. Salah satu delegasi dari kelas A2 putri adalah Alvina Rosyida (20), mahasiswi Fakultas Psikologi semester 2. Alvina menjadi salah satu delegasi kelasnya bukan tanpa sebab. Lulusan Gontor 1 ini memang menaruh minat yang besar dalam bidang debat dan sangat menyukai Bahasa Arab. Guna melatih kemampuannya ketika mengikuti event debat, Alvina mengikuti komunitas Psychoworld, yang mana komunitas ini mewadahi para mahasiswa yang berkeinginan untuk belajar debat yang tergabung dalam devisi Psychodebate .   Meski kalah pada putaran pertama, Alvina meng...